Preview Pertandingan Manchester City vs Sporting Lisbon - Prediksi Skor Manchester City vs Sporting Lisbon - Dari 14 partai Premier League, Manchester City mengemas 100 persen kemenangan! Bukan cumab di liga. The Citizens pun sangat perkasa di kandang saat berlaga di pentas Eropa. Sejak kekelahan dari Midtjylland di Piala UEFA edisi 2008/09, City mengemas 13 kemenangan dan hanya kalah tiga
More about → Prediksi Man City vs Sporting Lisbon 16 Maret 2012
Home » Archives for 03/14/12
Free Download Counter Strike Point Blank (CSPB)
Diposkan oleh east blogger
hayoo siapa yang tidak tau Point blank? saya juga suka tapi ada banyak kendala saat kita ingin memainkan koneksi internet yang lemoot lah download instalernya yang lama dan keterbatasan quota untuk memainkannnya bukan? saya juga merasakan itu tetapi kali ini saya sudah ada solusinya yaitu Counter Strike Point Blank. Berikuut beberapa Screen Shootnya: ah untuk download silakan
More about → Free Download Counter Strike Point Blank (CSPB)
Label:
Download
Foto Mesum Siswa SMA didalem kelas [BB21++]
Diposkan oleh east blogger
Assalamualaikum Wr.Wb dan salam sejahtera untuk yang beragama lainLangsung aja yah gan, ane tadi iseng iseng browsing liat - liat fac*b**k eh ternyata ane nemu foto 2 bocah ababil tanpa dosa tidur berdua gan, dan parahnya lagi di dalem kelas.Mungkin karena mereka berdua udah kecapekan mereka sampek ketiduran, sampek sampek gak sadar kalo ada salah satu temen mereka yang ngambil foto mesra mereka
More about → Foto Mesum Siswa SMA didalem kelas [BB21++]
Label:
Wakaka
PREDIKSI SKOR BESIKTAS VS ATLETICO MADRID 16 MARET 2012
Diposkan oleh east blogger
Preview Pertandingan Besiktas vs Atletico Madrid - Prediksi Skor Besiktas vs Atletico Madrid - Kemenangan 3-1 di laga pertama perdelapan final Liga Europa atas Besiktas jelas menempatkan Atletico sebagai unggulan. Mungkin hanya nasib buruk yang membuat Kos Colchoneros gagal memastikan tiket ke perempat final pada duel lanjutan, kamis (15/3). Prediksi skor pertandingan Besiktas vs Atletico
More about → PREDIKSI SKOR BESIKTAS VS ATLETICO MADRID 16 MARET 2012
Label:
Sepak Bola
PREDIKSI SKOR REAL MADRID VS CSKA MOSKVA 15 MARET 2012 LIGA CHAMPIONS
Diposkan oleh east blogger
Preview Pertandingan Real Madrid vs CSKA - Prediksi Skor Real Madrid vs CSKA - Setelah kalah dari Barcelona musim lalu, Real Madrid sedang melaju dengan mantap di Liga Champions. Tetapi bermodal catatan bagus lawan klub Spanyol, CSKA Moskow kini siap menguji laju oke Madrid. Pertandingan Real Madrid v CSKA Moskva disiarkan LIVE di RCTI pada tanggal 15 Maret 2012, pukul 02.45 WIB.Musim ini,
More about → PREDIKSI SKOR REAL MADRID VS CSKA MOSKVA 15 MARET 2012 LIGA CHAMPIONS
Label:
Sepak Bola
PREDIKSI SKOR ATHLETIC BILBAO VS MANCHESTER UNITED 16 MARET 2012
Diposkan oleh east blogger
Preview Pertandingan Bilbao vs Manchester United - Prediksi Skor Bilbao vs MU - berpeluang menyaksikan kegagalan Manhcester United menembus 16 besar di Liga Europa. Los Leones mesti lebih dulu memastikan ketangguhan San Mames pada Kamis (15/3) walau mengantungi keuntungan dari Old Trafford. Pertandingan Athletic Bilbao v Manchester United disiarkan LIVE di RCTI pada tanggal 16 Maret 2012,
More about → PREDIKSI SKOR ATHLETIC BILBAO VS MANCHESTER UNITED 16 MARET 2012
Label:
Sepak Bola
Konsumsi Daging Merah Tingkatkan Resiko Kematian Serangan Jantung Secara Drastis
Diposkan oleh east blogger
Secara rutin mengkonsumsi daging merah meningkatkan resiko kematian dari serangan jantung dan kanker secara drastis Mengkonsumsi dua potong daging merah setiap sehari meningkatkan kemungkinan kematian akibat penyakit jantung dan kanker sebesar 20 persen, klaim sebuah studi terbaru.Daging merah sebelumnya telah dikaitkan dengan masalah kesehatan, dan sebuah studi skala besar di Amerika adalah
More about → Konsumsi Daging Merah Tingkatkan Resiko Kematian Serangan Jantung Secara Drastis
Label:
info
Unik, Ganja Dibuat Menjadi Minuman Soda
Diposkan oleh east blogger
Di beberapa negara telah melegalkan ganja atau mariyuna untuk keperluan medis. Bahkan di Amerika Serikat, zat aktif dalam ganja dikemas dan dijual dalam bentuk minuman ringan yang digemari kaum muda.
Canna Cola
Clay Butler, pengusaha minuman ringan asal California baru-baru ini memproduksi minuman bersoda yang mengandung Tetrahydrocannabinol (THC) berkadar 35-65 mg/botol. THC merupakan bahan aktif dalam daun ganja yang memiliki efek halusinogenik atau menyebabkan seseorang berhalusinasi.
Dalam dunia medis, THC sering dimanfaatkan sebagai obat meski di sebagian besar negara legalitasnya masih kontroversial. Selain sebagai halusinogenik, THC juga dipakai untuk mencegah Alzheimer, mengatasi nyeri Arthritis dan mengatasi depresi.
Namun seperti halnya rokok, menghisap ganja untuk mendapatkan efek THC juga bisa memicu kanker. Menurut penelitian, beberapa racun dalam asap ganja bisa menyebabkan kanker paru-paru dan tenggorokan.
Terinspirasi dari efek samping asap ganja, Butler akhirnya menghadirkan rasa dan khasiat ganja itu dalam bentuk minuman bersoda. Butler berencana meluncurkan produknya ke pasar mulai Februari dengan harga US$ 10 hingga US$ 15 atau sekitar Rp 90.000 hingga Rp 135.000/botol.
Nama dagang yang dipakai Butler sebagai merek minumannya adalah Canna Cola, diambil dari nama Latin ganja yaitu Cannabis sativa. Sayangnya karena regulasi atau aturan tentang legalitas ganja berbeda di setiap negara, produk ini hanya akan dipasarkan di California dan tidak mungkin dibawa ke luar negeri.
Di California, mengemas ganja ke dalam minuman ringan sebenarnya bukan hal baru. Soda rasa ganja sudah banyak dijual, namun hanya dalam skala kecil sementara Butler mengklaim Canna Cola sebagai produk pertama yang diproduksi dalam skala industri.
sumber
More about → Unik, Ganja Dibuat Menjadi Minuman Soda
Canna Cola
Clay Butler, pengusaha minuman ringan asal California baru-baru ini memproduksi minuman bersoda yang mengandung Tetrahydrocannabinol (THC) berkadar 35-65 mg/botol. THC merupakan bahan aktif dalam daun ganja yang memiliki efek halusinogenik atau menyebabkan seseorang berhalusinasi.
Dalam dunia medis, THC sering dimanfaatkan sebagai obat meski di sebagian besar negara legalitasnya masih kontroversial. Selain sebagai halusinogenik, THC juga dipakai untuk mencegah Alzheimer, mengatasi nyeri Arthritis dan mengatasi depresi.
Namun seperti halnya rokok, menghisap ganja untuk mendapatkan efek THC juga bisa memicu kanker. Menurut penelitian, beberapa racun dalam asap ganja bisa menyebabkan kanker paru-paru dan tenggorokan.
Terinspirasi dari efek samping asap ganja, Butler akhirnya menghadirkan rasa dan khasiat ganja itu dalam bentuk minuman bersoda. Butler berencana meluncurkan produknya ke pasar mulai Februari dengan harga US$ 10 hingga US$ 15 atau sekitar Rp 90.000 hingga Rp 135.000/botol.
Nama dagang yang dipakai Butler sebagai merek minumannya adalah Canna Cola, diambil dari nama Latin ganja yaitu Cannabis sativa. Sayangnya karena regulasi atau aturan tentang legalitas ganja berbeda di setiap negara, produk ini hanya akan dipasarkan di California dan tidak mungkin dibawa ke luar negeri.
Di California, mengemas ganja ke dalam minuman ringan sebenarnya bukan hal baru. Soda rasa ganja sudah banyak dijual, namun hanya dalam skala kecil sementara Butler mengklaim Canna Cola sebagai produk pertama yang diproduksi dalam skala industri.
sumber
Di Fakfak, Pecahan Rp. 20.000 Dibilang “Uang Kecil”
Diposkan oleh east blogger
Sebelum membaca artikel ini, tolong anda perhatikan dulu gambar ilustrasinya. Ya, betul yang terdiri dari uang pecahan Rp. 1.000, Rp. 2.000, Rp. 5.000, Rp. 10.000, dan Rp. 20.000 itu.
Memangnya kenapa? Tentu anda bertanya seperti ini, ya?
Saya cerita, ya?
Boleh percaya, boleh tidak. Uang dengan pecahan-pecahan tersebut termasuk barang langka di kota asal saya, Fakfak, Papua Barat! Hal ini terutama sekali dirasakan oleh pemilik toko-toko di sana. Yakni, ketika harus memberi uang kembalian dari transaksi-transaksi penjualan di tokonya.
Saking langkanya sampai uang dengan pecahan-pecahan tersebut biasanya dicari sampai di Jawa. Terutama sekali di Surabaya. Untuk kemudian dikirim ke sana. Yang paling sulit adalah pecahan Rp. 1.000. Repotnya, pecahan ini juga cukup sulit dicari di Surabaya dalam keadaan masih baru.
Jangan tanya lagi bagaimana dengan pecahan Rp 500. Karena pecahan Rp 500 ini sudah nyaris tak terlihat di sana. Ini dipengaruhi oleh harga barang-barang di sana yang serba tinggi. Tidak ada lagi barang berharga di bawah Rp.1.000. Termasuk sebatang jarum sekalipun. Barang-barang di Papua memang jauh lebih mahal daripada di Jawa, karena masalah transportasi, dan tidak adanya pabrik yang menjual langsung produknya di sana. Semuanya harus dikirim dari Pulau Jawa (Surabaya).
Oleh karena itulah gaji PNS-PNS di sana juga lebih tinggi daripada rekan-rekannya di belahan Indonesia Barat. Istilah “Tunjangan Kemahalan” sudah lama dikenal di sana.
Biasanya, saudara saya di Fakfak rata-rata 2-3 bulan sekali minta tolong kepada saya untuk menukar uang pecahan Rp 1.000 sampai dengan Rp 20.000 itu di Bank Indonesia. Jadi, uang yang didapat selalu adalah uang baru yang masih dalam bungkus plastik. Sekali menukarnya mencapai puluhan juta rupiah.
Di Fakfak, uang pecahan Rp 1.000 sampai dengan Rp. 20.000 itu sering juga disebutkan dengan istilah yang sebenarnya kurang pas: “Uang kecil”. Jadi, uang Rp. 20.000 termasuk “uang kecil” di sana.
Pecahan Rp. 500 sudah tidak dicari lagi, karena seperti yang saya katakan di atas, pecahan itu “sudah tidak laku” lagi di sana.
Penyebab utama kelangkaan yang sudah berbilang belasan tahun ini dikarenakan bank-bank di Fakfak sudah tidak pernah lagi mendapat pasokan uang dengan pecahan-pecahan demikian dari Bank Indonesia. Jadi, warga Fakfak yang membutuhkan uang-uang itu dipersilakan mencari dengan caranya sendiri.
Saat ini di Fakfak hanya terdapat empat bank. Yakni, Bank Mandiri, BRI, Bank Papua, dan satu bank swasta, Bank Mega. Jangankan menerima penukaran uang, bank-bank ini sendiri pun sering mengalami kesulitan memperoleh uang pecahan tersebut.
Para pedagang asal Jawa, yang cukup banyak sukses berdagang di sana, ketika mudik ke Jawa, biasanya juga membawa pulang hasil usahanya itu yang terdiri dari uang tunai pecahan-pecahan yang justru sulit didapat di Fakfak itu. Akibatnya, kelangkaan uang dengan pecahan-pecahan demikian bertambah parah.
Memang cukup memprihatinkan melihat keadaan seperti ini. Kota Fakfak, di Papua Barat ini bisa dikatakan sebuah kota kecil yang serba kekurangan kebutuhan-kebutuhan penting seperti ini.
Selain uang kecil, kelangkaan yang sudah menjadi persoalan rutin sehari-hari masyarakat Fakfak adalah kelangkaan elpiji, danBBM. Plus listrik yang sampai hari ini masih hampir setiap hari byar-pet. Dalam sehari rata-rata terjadi pemadaman 3-5 kali! Demikian juga dengan air PDAM.
Kalau hujan, air yang disalurkan oleh PDAM selalu berubah menjadi keruh. Sungguh tidak cocok dengan nama perusahaannya: Perusahaan Daerah Air Minum. Jangankan untuk diminum, untuk mandi dan cuci saja sudah tidak layak. Masyarakat biasanya menampung sendiri air hujan untuk digunakan, maupun sebagai cadangan kalau-kalau air PDAM macet.
Jauh sebelum pemerintah punya rencana mau menaikkan harga BBM bersubsidi, di Fakfak, khususnya premium dan minyak tanah sudah lebih dulu “naik”. Harga premium di Fakfak sudah lama di tingkat pengecer paling murah Rp. 10.000/liter. Itu pun masih sulit untuk didapat. Di satu-satunya SPBU Pertamina di sana, pemandangan antrian ratusan kendaraan bermotor setiap hari sudah bertahun-tahun merupakan hal biasa, yang tetap terasa sebagai suatu penderitaan yang seolah tak berkesudahan bagi masyarakat Fakfak. Pertamax tidak ada di Fakfak.
sumber
Worlds Most Eco-friendly Sports Stadiums
Diposkan oleh east blogger
Sustainability is one of the top priorities these days in the field of architecture. Architects from all around the world are coming up with highly engineered structures combined with many sustainable features, and sports stadiums are no exception. Lately, we have seen sports stadiums from different cities going green and moreover, most of the new designs being proposed for the sports stadiums all around the globe are green in a way or the other. Here we have a delight for all the eco conscious sports fans – a list of world’s most beautiful, eco-friendly sports stadiums.
main stadium
• Garden Stadium:
garden stadium
China’s Dalian Shide Stadium will get new life with the green refurbishment that it will get from Cox Architects. This proposal of redesigning the old stadium will give birth to a new and improved stadium that will be known as the Garden Stadium. It is designed to emulate a garden with green walls, which filter air, reduce greenhouse gases and also provide an adequate level of insulation. The new stadium will offer spectacular views across the ocean and out to the mountains and the center city. The roof of the stadium is a flexible system of cables and fabric, which reduces its overall environmental impact. The walls are clad with living plants that change their appearance depending on the seasons. On the inside the walls feature giant LED panels, which are powered by wind turbines and solar cells installed on the walls, roof and the site.
• Nationals Park:
nationals park
The Nationals stadium, the present ballpark for the Washington Nationals is here to make a difference with its eco-friendly credentials. Dubbed the Nationals Park, the $611 million baseball stadium includes energy-efficient lighting, low-flow water features, and a 6300 square foot green roof that covers the concession area. Other interesting features embrace a water filtration system built directly underneath the stadium, which is made using sand filters pollutants from the water. The unique filtration system also separates water used for cleaning the ballpark from rainwater that falls on the ballpark, treating both sources before releasing all the water to the sanitary and storm water systems.
• The World Games Stadium:
world games stadium
Designed by renowned Japanese architect Toyo Ito, the World Games Stadium has a fascinating snake roof giving a dragon like feel. Not only is the roof aesthetically pleasing, but it also displays green aspects with the solar panels that cover the roof. The energy produced by the panels powers the entire stadium, in addition to getting some money from selling surplus power to Kaohsiung. This one is one of the very noticeable stadiums in the world.
• Incheon Stadium:
incheon stadium
After designing next-gen architecture that will serve as sustainable futuristic residences, architects are now working on ways the gaming arena can be made green. Populous and Heerim Architects and Planners have come up with the master plan for the Incheon Stadium in South Korea that will host the 17th Asian Games in 2014. The adaptable stadium will have a seating capacity of 70,000 for the Asian Games and will transform into a 30,000 seat stadium and a public park after the games are over. The design will be linked to the surrounding parklands to make it an open, accessible building for the visitors.
• Melbourne Rectangular Stadium:
melbourne rectangular stadium
The Melbourne Rectangular Stadium that combines state-of-the-art engineering with sustainability has a bubble-like façade and is expected to be completed in 2010. Designed by Cox Architects, the stadium will have enough space to seat about 30,000 spectators and features a unique cantilever design, which coupled with a triangular panelized façade uses 50% less steel than a typical cantilevered roof structure. The envelope will be composed of a combination of glass, metal and louvers, and the architects are planning a photovoltaic thin-film integration that will help power the stadium’s LED lighting units. The dome will also feature a rainwater harvesting system, natural lighting and natural ventilation to lower the structure’s dependence on grid electricity.
• Franco Sensi:
franco sensi
Gino Zavanella just recently unveiled the blueprints of a new stadium in Rome, dubbed theFranco Sensi, and it is wholly studded with solar panels. Here, you could see the blast messages batting an eyelid via a LED screen when the game is on. Catering to the Italian soccer fans, the Gau arena in Rome will also have an integral museum highlighting the exploits of Rome’s soccer team. n addition, you will see it equipped with the basic modern facilities like restaurants, lounges, and bars complementing its regular seating. The highly efficient solar photovoltaic panels will hinge on a peripheral zinc-titanium membrane shell. There will be another water-resistant layer allowing 80% of all light to pass through it.
• Tokyo Olympic Stadium:
tokyo olympic stadium
While the IOC just one day away from announcing the winning city that will host the 2016 Olympics, the Tokyo 2016 Bid Team has announced that the Tokyo Olympic Stadium will cater to the environment, as it will be the first of its kind to be powered entirely by solar energy. The bid also includes the renovation of several existing sporting facilities that will reduce demand for new materials and new structures that can have a negative effect on the ecosystem. Apart from providing green power, the stadium will also be offering the most compact games plan in history, with 97% of venues within an 8km radius of the Olympic Stadium and Olympic village located in the center of Tokyo.
• New Meadowlands Stadium:
new meadowlands stadium
The New York Giants, New York Jets and the United States Environmental Protection Agency have joined to make the New Meadowlands Stadium one of the greenest sports venues come 2010. A former brownfield site will soon see a stadium that will incorporate the use of 40,000 tons of recycled steel, environmentally friendly concrete and seating made partially from recycled plastic and scrap iron. Special heed will be to aspects like energy efficiency and water consumption. As far as the concession plates, cups and trays are concerned, all of them will be made from eco-friendly material. In order to mitigate the harmful effects of carbon emissions on the environment, all the vehicle used during construction will be run on cleaner diesel fuel.
• 2014 Winter Olympic Stadium:
2014 winter olympic stadium
The main stadium for the 2014 Winter Olympic and Paralympic Games to be held in Sochi, Russia will be designed by Populous. The stadium with a seating capacity of 40,000 is expected to incorporate sustainable features like a shimmering crystalline skin, which will be translucent during the day and come alive at night with color and spectacle of the game. The eco-stadium is expected to include features like advanced material technology, lightweight structures, day lighting and natural ventilation. It will turn out to be one of the most stunning eco-stadiums in the world.
• Shanghai Stadium:
shanghai stadium
The Shanghai Stadium will serve as one of the Football venues for the 2008 Games. Built in 1997, the stadium covers 380,000 square meters with a seating capacity of 80,000 and now the stadium has been awarded two million yuan (US$273,972) by the Xuhui District government for its environmental protection achievements. The stadium previously had two 28-meter chimneys with three boilers consuming 2,500 tons of oil every year. It began a three-year plan for environmental improvement last year and the chimneys have been rebuilt and the three boilers converted. Hope other stadiums follow the same lines and play green!
• London 2012 Olympic stadium:
london 2012 olympic stadium
Designed by HOK Sport and Peter Cook, the London 2012 Olympic stadium will create waves with its sustainable design. Material that will have a low impact on the planet will go into the construction. The lean, compact and lightweight stadium will include a façade wrapped in environmentally friendly hemp. The materials that will go into making this amazing eco-stadium recycled polymer based fabric and hemp.
• Cowboys Stadium:
cowboys stadium
Cowboys Stadium is a domed stadium with a retractable roof in Arlington, for the National Football League's Dallas Cowboys. Designed by the Dallas-based architectural firm HKS, the $650 million stadium is all set to become the first sports venue accepted into a federal program for environmentally friendly buildings. The stadium will be constructed aiming to reduce solid waste by 25%, energy use by 20% and water consumption by 1 million gallons annually. Green credentials that the eco-stadium will boast are use of native trees and plants, purchases of some renewable energy, and use of recycled plastic in seats and the playing field.
Perkembangan Sinema Hong Kong dari Masa ke Masa
Diposkan oleh east blogger
Era Film Bisu
Sejak awal perkembangan sinema industri film Hong Kong berjalan berdampingan bersama industri film China yang berpusat di Shanghai. Opera Cina yang telah ada sejak ribuan tahun silam menjadi akar bagi medium film. Adapun film yang seringkali dianggap sebagai film Hong Kong pertama adalah dua film komedi pendek berjudul Stealing a Roasted Duckdan Right a Wrong with Earthenware Dish masing-masing pada tahun 1909. Film ini disutradarai Liang Shaobo yang juga seorang aktor dan sutradara Opera. Sementara orang yang berjasa di balik awal perkembangan sinema Hong Kong adalah seorang Amerika, Benjamin Brodsky. Brodsky juga turut andil memproduksi film panjang Hong Kong pertama (berdurasi 2 rol) yakni,Zhuangzi Tests His Wife (1913). Film yang diadaptasi dari pertunjukan opera ini diarahkan oleh Lai Man-wai yang kelak dijuluki sebagai Bapak Sinema Hong Kong.
Perkembangan selanjutnya sulit untuk dilacak karena hanya sedikit saja film yang selamat dari perang dunia pertama. Perang juga menghambat perkembangan film di Hong Kong karena industri film sangat bergantung pada stok (negatif) film dari Jerman. Hingga akhirnya pada tahun 1923, Lai Man-wai bersama dua saudaranya begabung bersama Liang Shaobo untuk mendirikan studio lokal pertama di Hong Kong yakni, Minxin Studio atau juga dikenal China Sun Motion Picture Company. Pada tahun 1925, Lai memproduksi film panjang pertama yakni, Rogue yang juga sukses komersil. Namun demonstrasi buruh yang melanda Hong Kong pada saat itu memaksa Lai memindahkan operasinya ke Shanghai.
Era Film Bicara - Perang Dunia II
Kedatangan teknologi suara serta demonstrasi yang mulai mereda di Hong Kong mengubah industri film sangat drastis. Rakyat Cina mayoritas menggunakan bahasa mandarin namun bahasa kanton lebih lazim digunakan warga Hong Kong. Para produser Cina melihat peluang emas ini dan mulai mendirikan studio di Hong Kong untuk memproduksi film-film berbahasa kanton. Perang antara Cina – Jepang yang pecah di tahun 1937 juga memaksa para pelaku industri film di Shanghai pindah ke Hong Kong. Hong Kong selama beberapa waktu menjadi surga bagi para pelaku industri asal Shanghai. Studio-studio besar seperti, Grandview, Tian Yi, Universal, dan Nanyue didirikan. Film-film bergenre adaptasi opera terbukti adalah yang paling sukses pada dekade ini. Hingga akhirnya pada tahun 1941, Jepang menginvasi Hong Kong dan praktis industri film mati total.
Selama era 30-an ini selain film-film adaptasi opera beberapa genre baru bermunculan yakni, perang (propaganda anti Jepang) serta silat. Ketegangan dengan Jepang membuat film-film perang bertema patriotisme dan nasionalis menjadi tema yang populer sejak pertengahan 30-an, sepertiLifeline (1935), Hand to Hand Combat (1937), dan March of the Partisans(1938). Sementara genre silat (umumnya menggunakan pedang) sebenarnya telah populer sejak akhir dekade lalu terutama di Cina melalui adaptasi novel-novel wuxia yang kala itu sangat populer disajikan berseri di surat kabar. Namun pada awal era 30-an pemerintah Cina melarang produksi film-film silat pedang karena dinilai mengandung unsur kekerasan dan tahyul. Hal ini membuat Hong Kong yang merupakan koloni Inggris menjadi sasaran alternatif. Tercatat film silat berbahasa kanton pertama yang diproduksi di Hong Kong adalah The Adamed Pavilion (1938). Setelah perang berakhir kelak silat (dan kung-fu) adalah salah satu genre paling berpengaruh dalam sejarah industri perfilman Hong-Kong.
Era Pasca Perang Dunia
Sesaat setelah perang dunia selesai, perang sipil yang terjadi di Cina kembali memaksa para pelaku industri film di Shanghai kembali eksodus ke Hong Kong. Hong Kong menjadi pusat industri film terbesar yang memproduksi baik film berbahasa mandarin maupun kanton selama dekade mendatang. Film-film berbahasa mandarin cenderung berbujet besar dengan sasaran penonton yang lebih luas, yakni Cina daratan, Hong Kong, Asia Tenggara, hingga wilayah pecinan di seluruh Eropa dan Amerika. Sementara film-film berbahasa kanton umumnya berbujet rendah dan lebih ditujukan untuk pasar Hong Kong sendiri. Film-film lokal ini banyak didominasi oleh genre adaptasi opera Cina dan kung-fu.
Film-film adaptasi opera Cina dimotori oleh dua aktris top, yakni Yam Kim Fai dan Pak Suet Yin. Film mereka yang paling populer adalah The Purple Hairpin (1959) dan mereka telah bermain dalam lima puluh judul film lebih. Sementara pekembangan mendasar terjadi pada genre silat pedang, yakni munculnya genre kung-fu. Berbeda dengan adaptasi novel wuxia yang berisikan silat menggunakan pedang serta unsur fantasi dan mistik, film-film kung-fu lebih membumi dengan aksi-aksi perkelahian tangan kosong yang realistik. Satu contohnya, pahlawan lokal legendaris, Wong Fei Hung mulai difilmkan dengan seri lebih dari seratus judul film sejak akhir 40-an hingga 70-an. Aktor Kwan Tak Hing berperan sebagai sang master kung-fu dimulai dari The True Story of Wong Fei Hung (1949) hingga Wong Fei Hung Bravely Crushing the Fire Formation (1970). Perubahan juga terjadi pada genre silat pedang yang mulai menggunakan efek visual dan animasi untuk mendukung adegan aksi, seperti tampak pada Buddha’s Palm (1964) dan The Six-Fingered Lord of the Lute (1965).
Pada tahun 1963, pemerintah kolonial (Inggris) mengeluarkan kebijakan mengharuskan setiap film yang diproduksi di Hong Kong disertai teks terjemahan bahasa Inggris. Beberapa pihak menduga hal ini dimaksudkan untuk menghindari tema serta isi film yang berbau propaganda terhadap Inggris. Para produser juga memasukkan teks terjemahan bahasa Cina sehingga baik penonton berbahasa mandarin maupun kanton dapat sama-sama pula menikmati filmnya. Kebijakan ini tidak disadari kelak akan mempopulerkan film-film Hong Kong pada penonton barat. Hingga akhir dekade 60-an, film berbahasa mandarin semakin mendominasi pasar dan pada awal 70-an, film berbahasa kanton hampir sama sekali tidak diproduksi karena kalah bersaing.
Dominasi Shaw Brothers
Pada era 60-an ada dua studio raksasa yang bersaing menguasai pasar, yakni Shaw Brothers (SB) dan Motion Pictures and General Invesment Limited (MP&GI). SB semakin memperkuat dominasinya di tahun 1964, setelah kepala studio MP&GI tewas dalam kecelakaan pesawat terbang. MP&GI lalu berganti nama menjadi Cathay namun tetap saja kalah bersaing dan akhirnya mereka menutup perusahaannya di tahun 1970. Studio SB sendiri berdiri tahun 1957 namun Shaw Bersaudara, Run Run dan Runme Shaw sebelumnya telah berpengalaman di industri film sejak tiga dekade silam. SB semakin memperlihatkan dominasinya setelah mendirikan studio di Central Bay, Hong Kong pada tahun 1961, dengan luas areal 850.000 hektar dan ribuan karyawan. Dengan segala fasilitas, sineas serta para bintangnya, SB mendominasi industri film selama dua dekade ke depan. Hingga pertengahan 70-an, SB tercatat memiliki 230 teater, satu stasiun televisi, dan sekitar 1,7 juta orang per minggunya melihat film-film produksi SB.
Sukses besar pertama SB adalah melalui The Kingdom and the Beauty(1958) karya Li Han Hsiang yang sukses komersil baik domestik maupun internasional. Sukses berlanjut melalui Magnificent Concubine (1962) yang meraih penghargaan di Cannes Film Festival. Bersama SB, Li Han Hsiang kembali sukses besar melalui film musikal Love Eterne (1963) yang hingga kini masih dianggap karya klasik. SB juga mengubah tradisi genre silat pedang yang semula didominasi bintang wanita menjadi film laga murni melalui film-film sukses macam Come Drink with Me (1966) karya King Hu serta The One Armed Swordsman (1967) karya Chang Cheh.
Era Transisi
Sejak akhir dekade lalu film berbahasa kanton mulai menyusut bahkan hingga tahun 1972 jumlahnya sama sekali nol. SB hingga pertengahan dekade ini masih mendominasi melalui film-film kung-fu yang kini mulai digemari penonton barat. Bersama Chang Ceh, SB memproduksi film-film kung-fu sukses seperti Vengeance (1970), The Boxer from Shantung(1972), Five Deadly Venoms (1978) and Crippled Avengers (1979). Sejak awal dekade ini SB mulai mendapat rival yang serius ketika mantan eksekutifnya yakni, Raymond Chow mendirikan studio, Golden Harvest (GH). Dengan kejeliannya, Chow mengontrak beberapa bintang muda yakni Bruce Lee dan Hui Bersaudara yang kelak membawa perubahan besar bagi industri film Hong Kong.
Bruce Lee bisa dibilang adalah satu-satunya aktor superstar legendaris yang menjadi ikon beladiri di muka bumi ini. Sepanjang karirnya Lee hanya memproduksi lima judul film sebelum ia tewas di tahun 1973, yakni The Big Boss (1971), Fist of Fury (1972), The Way of the Dragon (1972), Enter of the Dragon (1973), dan The Game of Death (1979). (The Game of Death adalah film yang belum ia selesaikan produksi tahun 1972). Lee melalui film-filmnya memperkenalkan aksi perkelahian gaya baru yang cepat dengan kharismanya yang khas. Tercatat tiga film pertamanya memecahkan rekor box office domestik. Sementara sukses besar diraih Enter of the Dragon merupakan film produksi patungan Amerika – Hong Kong yang tercatat meraih $90 juta di seluruh dunia.
Pada pertengahan 70-an, memperlihatkan beberapa usaha para pembuat film lokal untuk memproduksi film berbahasa kanton. Satu pemicunya adalah film komedi sukses The House of 72 Tenants (1973) produksi SB yang merupakan satu-satunya film berbahasa kanton yang diproduksi tahun ini. Produksi film berbahasa kanton kembali bergairah terutama setelah film komedi kontemporer Games Gambler’s Play (1974) produksi GH yang dibintangi Hui Bersaudara memecahkan rekor box office domestik. Sukses film ini mengubah arah industri film Hong Kong ke depan. Pada tahun 1974 tercatat hanya 21% film berbahasa kanton diproduksi dan tren ini terus berkembang hingga kelak film berbahasa mandarin sama sekali tidak diproduksi di awal 80-an.
Pada akhir dekade 70-an, GH mengambil-alih kendali pasar menjadi studio nomor satu di Hong Kong. GH kembali melakukan terobosan besar dengan mengontrak aktor muda berbakat sebagai pengganti mendiang Lee, yakni Jacky Chan. Chan melalui Snake in the Eagle Shadow (1978) yang mengkombinasikan aksi kung-fu dengan komedi (kelak menjadi cirinya) terbukti menjadi formula yang sangat diminati penonton. Film-film selanjutnya seperti Drunken Master (1978) serta debut sutradaranya, Fearless Hyena (1979) yang sukses di pasaran semakin meroketkan namanya. Sukses GH serta melemahnya dominasi SB juga membuat para produser dan studio independen semakin menggeliat. SB sendiri masih berproduksi hingga tahun 1987 sebelum akhirnya beralih penuh ke televisi.
Era Emas
Sejak era 80-an, industri film Hong Kong boleh dibilang berubah secara radikal. Para produser dan sineas independen semakin bebas berkreasi dengan ide yang lebih segar. Industri film pada dekade ini mengalami tahap kematangan serta kreatifitas yang belum pernah dicapai era-era sebelumnya. Era gemilang ini berlanjut hingga awal dekade depan ditandai dengan rekor produksi sebanyak 178 judul film pada tahun 1992. Langkah besar dipicu oleh studio baru, Cinema City yang didirikan tahun 1980. Studio ini mengkhususkan diri pada produksi film aksi komedi ber-setting urban dengan film-film sukses macam Chasing Girls (1981) dan Aces Go Places (1982). Parodi ala James Bond, Aces Go Places bersama empat sekuelnya tercatat merupakan seri komedi paling sukses pada dekade ini.
Era ini juga ditandai dengan kemunculan sineas-sineas berbakat yang karirnya dimulai dari televisi, seperti Tsui Hark, Ann Hui, John Woo, Ringo Lam serta lainnya. Tidak seperti Hark dan Woo, sineas wanita Ann Hui memproduksi film-film dengan beragam variasi genre, yakni drama, aksi, horor, fantasi, dan lainnya. Film drama The Boat People (1982) dianggap merupakan salah satu karya terbaiknya. Tsui Hark sukses dengan film-film aksi kung-fu cepat dan energik macam Zu: Warriors from the Magic Mountain (1983), Peking Opera Blues (1986) hingga karya fenomenalnyaOnce upon a Time in China (1991) yang membesarkan nama Jet Li. Sementara Woo dikenal dengan film-film gangster full action seperti A Better Tomorrow (1986) dan The Killer (1989) yang mengangkat nama aktor karismatik Chow Yun-fat. Tsui Hark dan John Woo pada pertengahan dekade mendatang melanjutkan karirnya di Hollywood.
Sang superstar, Jacky Chan setelah sukses dengan film-film kung-fu pada dekade lalu melanjutkan suksesnya dengan film-film aksi berlatar kontemporer, seperti Project A (1983), Police Story (1985) dan Armour of God (1986). Dalam semua filmnya, Chan tidak pernah menggunakan pemain pengganti untuk melakukan adegan berbahaya. Di masa mendatang Chan semakin menanjak popularitasnya bahkan kini menjadi bintang top Hollywood. Kolega Chan, Sammo Hung pada dekade ini sukses dengan film-film aksi-komedi horor, Encounter of the Spooky Kind dan The Dead and the Deadly (1982) yang mempelopori sukses genre “hantu" pada dekade ini. Beberapa bintang lain yang menonjol antara lain aktris Brigitte Lin yang sukses dengan film-film roman silat serta aktor spesialis komedi, Stephen Chow yang meraih sukses awalnya melalui film komedi “judi”, All for the Winner (1990).
Sukses sinema mainstream ternyata juga diikuti film-film nonmainstream (art film) di kancah film internasional. Para sineas seperti Wong Kar-wai, Stanley Kwan, Clara Law, Mabel Cheung menekankan pada tema serta gaya yang tidak lazim dalam film-film Hong Kong kebanyakan. Satu nama yang paling mencuat hanyalah Wong Kar-wai. Wong memulai debutnya melalui As Tears Go By (1988) adalah film garapannya yang paling sukses komersil. Karya-karya terbaiknya berlanjut melalui Days of Being Wild(1991) dan Chungking Express (1994) namun adalah Happy Togethers(1997) yang membuat namanya meroket setelah meraih penghargaan sineas terbaik dalam Cannes Film Festival. Film-film Wong sendiri dikenal memiliki gaya visual yang unik serta kolaborasinya dengan aktor-aktris, Tony Leung dan Maggie Cheung. Dua bintang ini juga terlibat dalam In the Mood for Love (2000) yang kini dianggap merupakan salah satu karya masterpiece Wong.
Era Kejatuhan hingga Kini
Sekitar pertengahan era 90-an merupakan era paling gelap dalam sejarah industri film Hong Kong. Produksi film lokal dari tahun ke tahun terus merosot tajam. Pada tahun 1997 tercatat jumlah produksi film dibawah seratus judul film, terburuk sejak dua dekade silam. Banyak faktor yang melatarbelakangi kejatuhan perfilman Hong Kong, antara lain krisis keuangan yang melanda Asia, banyak sineas serta aktor besar yang hijrah ke Hollywood, kualitas film yang semakin menurun, pembajakan film yang makin marak, dominasi film-film Hollywood, serta paling berpengaruh adalah pemindahtanganan Hong Kong ke Cina dari tangan pemerintah Inggris pada tahun 1997. Janji pemerintah Cina untuk mendukung industri film belum menunjukkan hasil, justru industri malah ditekan melalui sensor film yang ketat. Tahun 2003, Pemerintah lokal mengeluarkan kebijakan yang mengajak bank lokal untuk mendukung industri film namun hasilnya juga masih belum maksimal.
Pada era kelam ini para pelaku industri mencoba menggunakan beberapa formula baru untuk memikat penonton muda datang ke bioskop diantaranya mengkasting bintang-bintang (juga penyayi pop) muda seperti Ekin Cheng dan Nicholas Tse, serta membuat film-film aksi kaya efek visual ala Hollwood. Tren ini tampak dalam film-film seperti Downtown Torpedoes (1997), The Storm Riders (1998),Gen X-Cop (1999), Time and Tide (2000), danLegend of Zu (2001). Sang superstar, Stephen Chow sukses fenomenal dengan dua film komedi uniknya, Shaolin Soccer (2001) dan Kung Fu Hustle (2004). Kung Fu Hustle bahkan sukses meraih nominasi Oscar untuk film berbahasa asing terbaik. Film-film gangster dankriminal juga cukup sukses, seperti Young and Dangerous (1996) dan Infernal Affairs (2002) bersama sekuel-sekuelnya. Infernal Affairs bahkan di-remake Hollywood melalui The Departed (2006) yang meraih Oscar untuk Film Terbaik.
Hingga saat ini pun kondisi perfilman Hong Kong masih jauh jika dibandingkan era emas 80-an. Industri film kini hanya memproduksi sekitar 50-an judul film saja per tahunnya. Sayangnya, di saat industri film semakin merosot justru popularitas film-film Hong Kong di negara barat semakin meningkat. Sineas dan bintang-bintang Hong Kong seperti John Woo, Jacky Chan, Jet Li, serta Chow Yun-fat sudah menjadi bagian dari Hollywood. John Woo bahkan dipercaya memproduksi film-film berbujet besar macam Broken Arrow (1996), Face/Off (1998), Mission Impossible 2(2000), dan Windtalkers (2002) bersama bintang-bintang top macam Tom Cruise, Nicholas Cage, dan John Travolta. Jacky Chan meraih sukses melebihi karirnya di Hong Kong melalui tiga seri aksi-komedi, Rush Hour. Sementara penata laga kawakan, Yuen Woo-ping hingga kini masih menjadi langganan dalam banyak film aksi laga Hollywood. Pengaruh sinema Hong Kong pun juga tampak dalam karya-karya sineas besar seperti Quentin Tarantino, Robert Rodriguez, Wachowsky Bersaudara, hingga Martin Scorcese. Sebagai penutup, perkembangan industri perfilman dunia boleh jadi tidak memiliki warna seperti saat ini jika sinema Hong Kong tidak pernah eksis.
sumber
More about → Perkembangan Sinema Hong Kong dari Masa ke Masa
Sejak awal perkembangan sinema industri film Hong Kong berjalan berdampingan bersama industri film China yang berpusat di Shanghai. Opera Cina yang telah ada sejak ribuan tahun silam menjadi akar bagi medium film. Adapun film yang seringkali dianggap sebagai film Hong Kong pertama adalah dua film komedi pendek berjudul Stealing a Roasted Duckdan Right a Wrong with Earthenware Dish masing-masing pada tahun 1909. Film ini disutradarai Liang Shaobo yang juga seorang aktor dan sutradara Opera. Sementara orang yang berjasa di balik awal perkembangan sinema Hong Kong adalah seorang Amerika, Benjamin Brodsky. Brodsky juga turut andil memproduksi film panjang Hong Kong pertama (berdurasi 2 rol) yakni,Zhuangzi Tests His Wife (1913). Film yang diadaptasi dari pertunjukan opera ini diarahkan oleh Lai Man-wai yang kelak dijuluki sebagai Bapak Sinema Hong Kong.
Perkembangan selanjutnya sulit untuk dilacak karena hanya sedikit saja film yang selamat dari perang dunia pertama. Perang juga menghambat perkembangan film di Hong Kong karena industri film sangat bergantung pada stok (negatif) film dari Jerman. Hingga akhirnya pada tahun 1923, Lai Man-wai bersama dua saudaranya begabung bersama Liang Shaobo untuk mendirikan studio lokal pertama di Hong Kong yakni, Minxin Studio atau juga dikenal China Sun Motion Picture Company. Pada tahun 1925, Lai memproduksi film panjang pertama yakni, Rogue yang juga sukses komersil. Namun demonstrasi buruh yang melanda Hong Kong pada saat itu memaksa Lai memindahkan operasinya ke Shanghai.
Era Film Bicara - Perang Dunia II
Kedatangan teknologi suara serta demonstrasi yang mulai mereda di Hong Kong mengubah industri film sangat drastis. Rakyat Cina mayoritas menggunakan bahasa mandarin namun bahasa kanton lebih lazim digunakan warga Hong Kong. Para produser Cina melihat peluang emas ini dan mulai mendirikan studio di Hong Kong untuk memproduksi film-film berbahasa kanton. Perang antara Cina – Jepang yang pecah di tahun 1937 juga memaksa para pelaku industri film di Shanghai pindah ke Hong Kong. Hong Kong selama beberapa waktu menjadi surga bagi para pelaku industri asal Shanghai. Studio-studio besar seperti, Grandview, Tian Yi, Universal, dan Nanyue didirikan. Film-film bergenre adaptasi opera terbukti adalah yang paling sukses pada dekade ini. Hingga akhirnya pada tahun 1941, Jepang menginvasi Hong Kong dan praktis industri film mati total.
Selama era 30-an ini selain film-film adaptasi opera beberapa genre baru bermunculan yakni, perang (propaganda anti Jepang) serta silat. Ketegangan dengan Jepang membuat film-film perang bertema patriotisme dan nasionalis menjadi tema yang populer sejak pertengahan 30-an, sepertiLifeline (1935), Hand to Hand Combat (1937), dan March of the Partisans(1938). Sementara genre silat (umumnya menggunakan pedang) sebenarnya telah populer sejak akhir dekade lalu terutama di Cina melalui adaptasi novel-novel wuxia yang kala itu sangat populer disajikan berseri di surat kabar. Namun pada awal era 30-an pemerintah Cina melarang produksi film-film silat pedang karena dinilai mengandung unsur kekerasan dan tahyul. Hal ini membuat Hong Kong yang merupakan koloni Inggris menjadi sasaran alternatif. Tercatat film silat berbahasa kanton pertama yang diproduksi di Hong Kong adalah The Adamed Pavilion (1938). Setelah perang berakhir kelak silat (dan kung-fu) adalah salah satu genre paling berpengaruh dalam sejarah industri perfilman Hong-Kong.
Era Pasca Perang Dunia
Sesaat setelah perang dunia selesai, perang sipil yang terjadi di Cina kembali memaksa para pelaku industri film di Shanghai kembali eksodus ke Hong Kong. Hong Kong menjadi pusat industri film terbesar yang memproduksi baik film berbahasa mandarin maupun kanton selama dekade mendatang. Film-film berbahasa mandarin cenderung berbujet besar dengan sasaran penonton yang lebih luas, yakni Cina daratan, Hong Kong, Asia Tenggara, hingga wilayah pecinan di seluruh Eropa dan Amerika. Sementara film-film berbahasa kanton umumnya berbujet rendah dan lebih ditujukan untuk pasar Hong Kong sendiri. Film-film lokal ini banyak didominasi oleh genre adaptasi opera Cina dan kung-fu.
Film-film adaptasi opera Cina dimotori oleh dua aktris top, yakni Yam Kim Fai dan Pak Suet Yin. Film mereka yang paling populer adalah The Purple Hairpin (1959) dan mereka telah bermain dalam lima puluh judul film lebih. Sementara pekembangan mendasar terjadi pada genre silat pedang, yakni munculnya genre kung-fu. Berbeda dengan adaptasi novel wuxia yang berisikan silat menggunakan pedang serta unsur fantasi dan mistik, film-film kung-fu lebih membumi dengan aksi-aksi perkelahian tangan kosong yang realistik. Satu contohnya, pahlawan lokal legendaris, Wong Fei Hung mulai difilmkan dengan seri lebih dari seratus judul film sejak akhir 40-an hingga 70-an. Aktor Kwan Tak Hing berperan sebagai sang master kung-fu dimulai dari The True Story of Wong Fei Hung (1949) hingga Wong Fei Hung Bravely Crushing the Fire Formation (1970). Perubahan juga terjadi pada genre silat pedang yang mulai menggunakan efek visual dan animasi untuk mendukung adegan aksi, seperti tampak pada Buddha’s Palm (1964) dan The Six-Fingered Lord of the Lute (1965).
Pada tahun 1963, pemerintah kolonial (Inggris) mengeluarkan kebijakan mengharuskan setiap film yang diproduksi di Hong Kong disertai teks terjemahan bahasa Inggris. Beberapa pihak menduga hal ini dimaksudkan untuk menghindari tema serta isi film yang berbau propaganda terhadap Inggris. Para produser juga memasukkan teks terjemahan bahasa Cina sehingga baik penonton berbahasa mandarin maupun kanton dapat sama-sama pula menikmati filmnya. Kebijakan ini tidak disadari kelak akan mempopulerkan film-film Hong Kong pada penonton barat. Hingga akhir dekade 60-an, film berbahasa mandarin semakin mendominasi pasar dan pada awal 70-an, film berbahasa kanton hampir sama sekali tidak diproduksi karena kalah bersaing.
Dominasi Shaw Brothers
Pada era 60-an ada dua studio raksasa yang bersaing menguasai pasar, yakni Shaw Brothers (SB) dan Motion Pictures and General Invesment Limited (MP&GI). SB semakin memperkuat dominasinya di tahun 1964, setelah kepala studio MP&GI tewas dalam kecelakaan pesawat terbang. MP&GI lalu berganti nama menjadi Cathay namun tetap saja kalah bersaing dan akhirnya mereka menutup perusahaannya di tahun 1970. Studio SB sendiri berdiri tahun 1957 namun Shaw Bersaudara, Run Run dan Runme Shaw sebelumnya telah berpengalaman di industri film sejak tiga dekade silam. SB semakin memperlihatkan dominasinya setelah mendirikan studio di Central Bay, Hong Kong pada tahun 1961, dengan luas areal 850.000 hektar dan ribuan karyawan. Dengan segala fasilitas, sineas serta para bintangnya, SB mendominasi industri film selama dua dekade ke depan. Hingga pertengahan 70-an, SB tercatat memiliki 230 teater, satu stasiun televisi, dan sekitar 1,7 juta orang per minggunya melihat film-film produksi SB.
Sukses besar pertama SB adalah melalui The Kingdom and the Beauty(1958) karya Li Han Hsiang yang sukses komersil baik domestik maupun internasional. Sukses berlanjut melalui Magnificent Concubine (1962) yang meraih penghargaan di Cannes Film Festival. Bersama SB, Li Han Hsiang kembali sukses besar melalui film musikal Love Eterne (1963) yang hingga kini masih dianggap karya klasik. SB juga mengubah tradisi genre silat pedang yang semula didominasi bintang wanita menjadi film laga murni melalui film-film sukses macam Come Drink with Me (1966) karya King Hu serta The One Armed Swordsman (1967) karya Chang Cheh.
Era Transisi
Sejak akhir dekade lalu film berbahasa kanton mulai menyusut bahkan hingga tahun 1972 jumlahnya sama sekali nol. SB hingga pertengahan dekade ini masih mendominasi melalui film-film kung-fu yang kini mulai digemari penonton barat. Bersama Chang Ceh, SB memproduksi film-film kung-fu sukses seperti Vengeance (1970), The Boxer from Shantung(1972), Five Deadly Venoms (1978) and Crippled Avengers (1979). Sejak awal dekade ini SB mulai mendapat rival yang serius ketika mantan eksekutifnya yakni, Raymond Chow mendirikan studio, Golden Harvest (GH). Dengan kejeliannya, Chow mengontrak beberapa bintang muda yakni Bruce Lee dan Hui Bersaudara yang kelak membawa perubahan besar bagi industri film Hong Kong.
Bruce Lee bisa dibilang adalah satu-satunya aktor superstar legendaris yang menjadi ikon beladiri di muka bumi ini. Sepanjang karirnya Lee hanya memproduksi lima judul film sebelum ia tewas di tahun 1973, yakni The Big Boss (1971), Fist of Fury (1972), The Way of the Dragon (1972), Enter of the Dragon (1973), dan The Game of Death (1979). (The Game of Death adalah film yang belum ia selesaikan produksi tahun 1972). Lee melalui film-filmnya memperkenalkan aksi perkelahian gaya baru yang cepat dengan kharismanya yang khas. Tercatat tiga film pertamanya memecahkan rekor box office domestik. Sementara sukses besar diraih Enter of the Dragon merupakan film produksi patungan Amerika – Hong Kong yang tercatat meraih $90 juta di seluruh dunia.
Pada pertengahan 70-an, memperlihatkan beberapa usaha para pembuat film lokal untuk memproduksi film berbahasa kanton. Satu pemicunya adalah film komedi sukses The House of 72 Tenants (1973) produksi SB yang merupakan satu-satunya film berbahasa kanton yang diproduksi tahun ini. Produksi film berbahasa kanton kembali bergairah terutama setelah film komedi kontemporer Games Gambler’s Play (1974) produksi GH yang dibintangi Hui Bersaudara memecahkan rekor box office domestik. Sukses film ini mengubah arah industri film Hong Kong ke depan. Pada tahun 1974 tercatat hanya 21% film berbahasa kanton diproduksi dan tren ini terus berkembang hingga kelak film berbahasa mandarin sama sekali tidak diproduksi di awal 80-an.
Pada akhir dekade 70-an, GH mengambil-alih kendali pasar menjadi studio nomor satu di Hong Kong. GH kembali melakukan terobosan besar dengan mengontrak aktor muda berbakat sebagai pengganti mendiang Lee, yakni Jacky Chan. Chan melalui Snake in the Eagle Shadow (1978) yang mengkombinasikan aksi kung-fu dengan komedi (kelak menjadi cirinya) terbukti menjadi formula yang sangat diminati penonton. Film-film selanjutnya seperti Drunken Master (1978) serta debut sutradaranya, Fearless Hyena (1979) yang sukses di pasaran semakin meroketkan namanya. Sukses GH serta melemahnya dominasi SB juga membuat para produser dan studio independen semakin menggeliat. SB sendiri masih berproduksi hingga tahun 1987 sebelum akhirnya beralih penuh ke televisi.
Era Emas
Sejak era 80-an, industri film Hong Kong boleh dibilang berubah secara radikal. Para produser dan sineas independen semakin bebas berkreasi dengan ide yang lebih segar. Industri film pada dekade ini mengalami tahap kematangan serta kreatifitas yang belum pernah dicapai era-era sebelumnya. Era gemilang ini berlanjut hingga awal dekade depan ditandai dengan rekor produksi sebanyak 178 judul film pada tahun 1992. Langkah besar dipicu oleh studio baru, Cinema City yang didirikan tahun 1980. Studio ini mengkhususkan diri pada produksi film aksi komedi ber-setting urban dengan film-film sukses macam Chasing Girls (1981) dan Aces Go Places (1982). Parodi ala James Bond, Aces Go Places bersama empat sekuelnya tercatat merupakan seri komedi paling sukses pada dekade ini.
Era ini juga ditandai dengan kemunculan sineas-sineas berbakat yang karirnya dimulai dari televisi, seperti Tsui Hark, Ann Hui, John Woo, Ringo Lam serta lainnya. Tidak seperti Hark dan Woo, sineas wanita Ann Hui memproduksi film-film dengan beragam variasi genre, yakni drama, aksi, horor, fantasi, dan lainnya. Film drama The Boat People (1982) dianggap merupakan salah satu karya terbaiknya. Tsui Hark sukses dengan film-film aksi kung-fu cepat dan energik macam Zu: Warriors from the Magic Mountain (1983), Peking Opera Blues (1986) hingga karya fenomenalnyaOnce upon a Time in China (1991) yang membesarkan nama Jet Li. Sementara Woo dikenal dengan film-film gangster full action seperti A Better Tomorrow (1986) dan The Killer (1989) yang mengangkat nama aktor karismatik Chow Yun-fat. Tsui Hark dan John Woo pada pertengahan dekade mendatang melanjutkan karirnya di Hollywood.
Sang superstar, Jacky Chan setelah sukses dengan film-film kung-fu pada dekade lalu melanjutkan suksesnya dengan film-film aksi berlatar kontemporer, seperti Project A (1983), Police Story (1985) dan Armour of God (1986). Dalam semua filmnya, Chan tidak pernah menggunakan pemain pengganti untuk melakukan adegan berbahaya. Di masa mendatang Chan semakin menanjak popularitasnya bahkan kini menjadi bintang top Hollywood. Kolega Chan, Sammo Hung pada dekade ini sukses dengan film-film aksi-komedi horor, Encounter of the Spooky Kind dan The Dead and the Deadly (1982) yang mempelopori sukses genre “hantu" pada dekade ini. Beberapa bintang lain yang menonjol antara lain aktris Brigitte Lin yang sukses dengan film-film roman silat serta aktor spesialis komedi, Stephen Chow yang meraih sukses awalnya melalui film komedi “judi”, All for the Winner (1990).
Sukses sinema mainstream ternyata juga diikuti film-film nonmainstream (art film) di kancah film internasional. Para sineas seperti Wong Kar-wai, Stanley Kwan, Clara Law, Mabel Cheung menekankan pada tema serta gaya yang tidak lazim dalam film-film Hong Kong kebanyakan. Satu nama yang paling mencuat hanyalah Wong Kar-wai. Wong memulai debutnya melalui As Tears Go By (1988) adalah film garapannya yang paling sukses komersil. Karya-karya terbaiknya berlanjut melalui Days of Being Wild(1991) dan Chungking Express (1994) namun adalah Happy Togethers(1997) yang membuat namanya meroket setelah meraih penghargaan sineas terbaik dalam Cannes Film Festival. Film-film Wong sendiri dikenal memiliki gaya visual yang unik serta kolaborasinya dengan aktor-aktris, Tony Leung dan Maggie Cheung. Dua bintang ini juga terlibat dalam In the Mood for Love (2000) yang kini dianggap merupakan salah satu karya masterpiece Wong.
Era Kejatuhan hingga Kini
Sekitar pertengahan era 90-an merupakan era paling gelap dalam sejarah industri film Hong Kong. Produksi film lokal dari tahun ke tahun terus merosot tajam. Pada tahun 1997 tercatat jumlah produksi film dibawah seratus judul film, terburuk sejak dua dekade silam. Banyak faktor yang melatarbelakangi kejatuhan perfilman Hong Kong, antara lain krisis keuangan yang melanda Asia, banyak sineas serta aktor besar yang hijrah ke Hollywood, kualitas film yang semakin menurun, pembajakan film yang makin marak, dominasi film-film Hollywood, serta paling berpengaruh adalah pemindahtanganan Hong Kong ke Cina dari tangan pemerintah Inggris pada tahun 1997. Janji pemerintah Cina untuk mendukung industri film belum menunjukkan hasil, justru industri malah ditekan melalui sensor film yang ketat. Tahun 2003, Pemerintah lokal mengeluarkan kebijakan yang mengajak bank lokal untuk mendukung industri film namun hasilnya juga masih belum maksimal.
Pada era kelam ini para pelaku industri mencoba menggunakan beberapa formula baru untuk memikat penonton muda datang ke bioskop diantaranya mengkasting bintang-bintang (juga penyayi pop) muda seperti Ekin Cheng dan Nicholas Tse, serta membuat film-film aksi kaya efek visual ala Hollwood. Tren ini tampak dalam film-film seperti Downtown Torpedoes (1997), The Storm Riders (1998),Gen X-Cop (1999), Time and Tide (2000), danLegend of Zu (2001). Sang superstar, Stephen Chow sukses fenomenal dengan dua film komedi uniknya, Shaolin Soccer (2001) dan Kung Fu Hustle (2004). Kung Fu Hustle bahkan sukses meraih nominasi Oscar untuk film berbahasa asing terbaik. Film-film gangster dankriminal juga cukup sukses, seperti Young and Dangerous (1996) dan Infernal Affairs (2002) bersama sekuel-sekuelnya. Infernal Affairs bahkan di-remake Hollywood melalui The Departed (2006) yang meraih Oscar untuk Film Terbaik.
Hingga saat ini pun kondisi perfilman Hong Kong masih jauh jika dibandingkan era emas 80-an. Industri film kini hanya memproduksi sekitar 50-an judul film saja per tahunnya. Sayangnya, di saat industri film semakin merosot justru popularitas film-film Hong Kong di negara barat semakin meningkat. Sineas dan bintang-bintang Hong Kong seperti John Woo, Jacky Chan, Jet Li, serta Chow Yun-fat sudah menjadi bagian dari Hollywood. John Woo bahkan dipercaya memproduksi film-film berbujet besar macam Broken Arrow (1996), Face/Off (1998), Mission Impossible 2(2000), dan Windtalkers (2002) bersama bintang-bintang top macam Tom Cruise, Nicholas Cage, dan John Travolta. Jacky Chan meraih sukses melebihi karirnya di Hong Kong melalui tiga seri aksi-komedi, Rush Hour. Sementara penata laga kawakan, Yuen Woo-ping hingga kini masih menjadi langganan dalam banyak film aksi laga Hollywood. Pengaruh sinema Hong Kong pun juga tampak dalam karya-karya sineas besar seperti Quentin Tarantino, Robert Rodriguez, Wachowsky Bersaudara, hingga Martin Scorcese. Sebagai penutup, perkembangan industri perfilman dunia boleh jadi tidak memiliki warna seperti saat ini jika sinema Hong Kong tidak pernah eksis.
sumber