edit
edit
Era Film Bisu
Sejak awal perkembangan sinema industri film Hong Kong berjalan berdampingan bersama industri film China yang berpusat di Shanghai. Opera Cina yang telah ada sejak ribuan tahun silam menjadi akar bagi medium film. Adapun film yang seringkali dianggap sebagai film Hong Kong pertama adalah dua film komedi pendek berjudul Stealing a Roasted Duckdan Right a Wrong with Earthenware Dish masing-masing pada tahun 1909. Film ini disutradarai Liang Shaobo yang juga seorang aktor dan sutradara Opera. Sementara orang yang berjasa di balik awal perkembangan sinema Hong Kong adalah seorang Amerika, Benjamin Brodsky. Brodsky juga turut andil memproduksi film panjang Hong Kong pertama (berdurasi 2 rol) yakni,Zhuangzi Tests His Wife (1913). Film yang diadaptasi dari pertunjukan opera ini diarahkan oleh Lai Man-wai yang kelak dijuluki sebagai Bapak Sinema Hong Kong.
Perkembangan selanjutnya sulit untuk dilacak karena hanya sedikit saja film yang selamat dari perang dunia pertama. Perang juga menghambat perkembangan film di Hong Kong karena industri film sangat bergantung pada stok (negatif) film dari Jerman. Hingga akhirnya pada tahun 1923, Lai Man-wai bersama dua saudaranya begabung bersama Liang Shaobo untuk mendirikan studio lokal pertama di Hong Kong yakni, Minxin Studio atau juga dikenal China Sun Motion Picture Company. Pada tahun 1925, Lai memproduksi film panjang pertama yakni, Rogue yang juga sukses komersil. Namun demonstrasi buruh yang melanda Hong Kong pada saat itu memaksa Lai memindahkan operasinya ke Shanghai.
Era Film Bicara - Perang Dunia II
Kedatangan teknologi suara serta demonstrasi yang mulai mereda di Hong Kong mengubah industri film sangat drastis. Rakyat Cina mayoritas menggunakan bahasa mandarin namun bahasa kanton lebih lazim digunakan warga Hong Kong. Para produser Cina melihat peluang emas ini dan mulai mendirikan studio di Hong Kong untuk memproduksi film-film berbahasa kanton. Perang antara Cina – Jepang yang pecah di tahun 1937 juga memaksa para pelaku industri film di Shanghai pindah ke Hong Kong. Hong Kong selama beberapa waktu menjadi surga bagi para pelaku industri asal Shanghai. Studio-studio besar seperti, Grandview, Tian Yi, Universal, dan Nanyue didirikan. Film-film bergenre adaptasi opera terbukti adalah yang paling sukses pada dekade ini. Hingga akhirnya pada tahun 1941, Jepang menginvasi Hong Kong dan praktis industri film mati total.
Selama era 30-an ini selain film-film adaptasi opera beberapa genre baru bermunculan yakni, perang (propaganda anti Jepang) serta silat. Ketegangan dengan Jepang membuat film-film perang bertema patriotisme dan nasionalis menjadi tema yang populer sejak pertengahan 30-an, sepertiLifeline (1935), Hand to Hand Combat (1937), dan March of the Partisans(1938). Sementara genre silat (umumnya menggunakan pedang) sebenarnya telah populer sejak akhir dekade lalu terutama di Cina melalui adaptasi novel-novel wuxia yang kala itu sangat populer disajikan berseri di surat kabar. Namun pada awal era 30-an pemerintah Cina melarang produksi film-film silat pedang karena dinilai mengandung unsur kekerasan dan tahyul. Hal ini membuat Hong Kong yang merupakan koloni Inggris menjadi sasaran alternatif. Tercatat film silat berbahasa kanton pertama yang diproduksi di Hong Kong adalah The Adamed Pavilion (1938). Setelah perang berakhir kelak silat (dan kung-fu) adalah salah satu genre paling berpengaruh dalam sejarah industri perfilman Hong-Kong.
Era Pasca Perang Dunia
Sesaat setelah perang dunia selesai, perang sipil yang terjadi di Cina kembali memaksa para pelaku industri film di Shanghai kembali eksodus ke Hong Kong. Hong Kong menjadi pusat industri film terbesar yang memproduksi baik film berbahasa mandarin maupun kanton selama dekade mendatang. Film-film berbahasa mandarin cenderung berbujet besar dengan sasaran penonton yang lebih luas, yakni Cina daratan, Hong Kong, Asia Tenggara, hingga wilayah pecinan di seluruh Eropa dan Amerika. Sementara film-film berbahasa kanton umumnya berbujet rendah dan lebih ditujukan untuk pasar Hong Kong sendiri. Film-film lokal ini banyak didominasi oleh genre adaptasi opera Cina dan kung-fu.
Film-film adaptasi opera Cina dimotori oleh dua aktris top, yakni Yam Kim Fai dan Pak Suet Yin. Film mereka yang paling populer adalah The Purple Hairpin (1959) dan mereka telah bermain dalam lima puluh judul film lebih. Sementara pekembangan mendasar terjadi pada genre silat pedang, yakni munculnya genre kung-fu. Berbeda dengan adaptasi novel wuxia yang berisikan silat menggunakan pedang serta unsur fantasi dan mistik, film-film kung-fu lebih membumi dengan aksi-aksi perkelahian tangan kosong yang realistik. Satu contohnya, pahlawan lokal legendaris, Wong Fei Hung mulai difilmkan dengan seri lebih dari seratus judul film sejak akhir 40-an hingga 70-an. Aktor Kwan Tak Hing berperan sebagai sang master kung-fu dimulai dari The True Story of Wong Fei Hung (1949) hingga Wong Fei Hung Bravely Crushing the Fire Formation (1970). Perubahan juga terjadi pada genre silat pedang yang mulai menggunakan efek visual dan animasi untuk mendukung adegan aksi, seperti tampak pada Buddha’s Palm (1964) dan The Six-Fingered Lord of the Lute (1965).
Pada tahun 1963, pemerintah kolonial (Inggris) mengeluarkan kebijakan mengharuskan setiap film yang diproduksi di Hong Kong disertai teks terjemahan bahasa Inggris. Beberapa pihak menduga hal ini dimaksudkan untuk menghindari tema serta isi film yang berbau propaganda terhadap Inggris. Para produser juga memasukkan teks terjemahan bahasa Cina sehingga baik penonton berbahasa mandarin maupun kanton dapat sama-sama pula menikmati filmnya. Kebijakan ini tidak disadari kelak akan mempopulerkan film-film Hong Kong pada penonton barat. Hingga akhir dekade 60-an, film berbahasa mandarin semakin mendominasi pasar dan pada awal 70-an, film berbahasa kanton hampir sama sekali tidak diproduksi karena kalah bersaing.
Dominasi Shaw Brothers
Pada era 60-an ada dua studio raksasa yang bersaing menguasai pasar, yakni Shaw Brothers (SB) dan Motion Pictures and General Invesment Limited (MP&GI). SB semakin memperkuat dominasinya di tahun 1964, setelah kepala studio MP&GI tewas dalam kecelakaan pesawat terbang. MP&GI lalu berganti nama menjadi Cathay namun tetap saja kalah bersaing dan akhirnya mereka menutup perusahaannya di tahun 1970. Studio SB sendiri berdiri tahun 1957 namun Shaw Bersaudara, Run Run dan Runme Shaw sebelumnya telah berpengalaman di industri film sejak tiga dekade silam. SB semakin memperlihatkan dominasinya setelah mendirikan studio di Central Bay, Hong Kong pada tahun 1961, dengan luas areal 850.000 hektar dan ribuan karyawan. Dengan segala fasilitas, sineas serta para bintangnya, SB mendominasi industri film selama dua dekade ke depan. Hingga pertengahan 70-an, SB tercatat memiliki 230 teater, satu stasiun televisi, dan sekitar 1,7 juta orang per minggunya melihat film-film produksi SB.
Sukses besar pertama SB adalah melalui The Kingdom and the Beauty(1958) karya Li Han Hsiang yang sukses komersil baik domestik maupun internasional. Sukses berlanjut melalui Magnificent Concubine (1962) yang meraih penghargaan di Cannes Film Festival. Bersama SB, Li Han Hsiang kembali sukses besar melalui film musikal Love Eterne (1963) yang hingga kini masih dianggap karya klasik. SB juga mengubah tradisi genre silat pedang yang semula didominasi bintang wanita menjadi film laga murni melalui film-film sukses macam Come Drink with Me (1966) karya King Hu serta The One Armed Swordsman (1967) karya Chang Cheh.
Era Transisi
Sejak akhir dekade lalu film berbahasa kanton mulai menyusut bahkan hingga tahun 1972 jumlahnya sama sekali nol. SB hingga pertengahan dekade ini masih mendominasi melalui film-film kung-fu yang kini mulai digemari penonton barat. Bersama Chang Ceh, SB memproduksi film-film kung-fu sukses seperti Vengeance (1970), The Boxer from Shantung(1972), Five Deadly Venoms (1978) and Crippled Avengers (1979). Sejak awal dekade ini SB mulai mendapat rival yang serius ketika mantan eksekutifnya yakni, Raymond Chow mendirikan studio, Golden Harvest (GH). Dengan kejeliannya, Chow mengontrak beberapa bintang muda yakni Bruce Lee dan Hui Bersaudara yang kelak membawa perubahan besar bagi industri film Hong Kong.
Bruce Lee bisa dibilang adalah satu-satunya aktor superstar legendaris yang menjadi ikon beladiri di muka bumi ini. Sepanjang karirnya Lee hanya memproduksi lima judul film sebelum ia tewas di tahun 1973, yakni The Big Boss (1971), Fist of Fury (1972), The Way of the Dragon (1972), Enter of the Dragon (1973), dan The Game of Death (1979). (The Game of Death adalah film yang belum ia selesaikan produksi tahun 1972). Lee melalui film-filmnya memperkenalkan aksi perkelahian gaya baru yang cepat dengan kharismanya yang khas. Tercatat tiga film pertamanya memecahkan rekor box office domestik. Sementara sukses besar diraih Enter of the Dragon merupakan film produksi patungan Amerika – Hong Kong yang tercatat meraih $90 juta di seluruh dunia.
Pada pertengahan 70-an, memperlihatkan beberapa usaha para pembuat film lokal untuk memproduksi film berbahasa kanton. Satu pemicunya adalah film komedi sukses The House of 72 Tenants (1973) produksi SB yang merupakan satu-satunya film berbahasa kanton yang diproduksi tahun ini. Produksi film berbahasa kanton kembali bergairah terutama setelah film komedi kontemporer Games Gambler’s Play (1974) produksi GH yang dibintangi Hui Bersaudara memecahkan rekor box office domestik. Sukses film ini mengubah arah industri film Hong Kong ke depan. Pada tahun 1974 tercatat hanya 21% film berbahasa kanton diproduksi dan tren ini terus berkembang hingga kelak film berbahasa mandarin sama sekali tidak diproduksi di awal 80-an.
Pada akhir dekade 70-an, GH mengambil-alih kendali pasar menjadi studio nomor satu di Hong Kong. GH kembali melakukan terobosan besar dengan mengontrak aktor muda berbakat sebagai pengganti mendiang Lee, yakni Jacky Chan. Chan melalui Snake in the Eagle Shadow (1978) yang mengkombinasikan aksi kung-fu dengan komedi (kelak menjadi cirinya) terbukti menjadi formula yang sangat diminati penonton. Film-film selanjutnya seperti Drunken Master (1978) serta debut sutradaranya, Fearless Hyena (1979) yang sukses di pasaran semakin meroketkan namanya. Sukses GH serta melemahnya dominasi SB juga membuat para produser dan studio independen semakin menggeliat. SB sendiri masih berproduksi hingga tahun 1987 sebelum akhirnya beralih penuh ke televisi.
Era Emas
Sejak era 80-an, industri film Hong Kong boleh dibilang berubah secara radikal. Para produser dan sineas independen semakin bebas berkreasi dengan ide yang lebih segar. Industri film pada dekade ini mengalami tahap kematangan serta kreatifitas yang belum pernah dicapai era-era sebelumnya. Era gemilang ini berlanjut hingga awal dekade depan ditandai dengan rekor produksi sebanyak 178 judul film pada tahun 1992. Langkah besar dipicu oleh studio baru, Cinema City yang didirikan tahun 1980. Studio ini mengkhususkan diri pada produksi film aksi komedi ber-setting urban dengan film-film sukses macam Chasing Girls (1981) dan Aces Go Places (1982). Parodi ala James Bond, Aces Go Places bersama empat sekuelnya tercatat merupakan seri komedi paling sukses pada dekade ini.
Era ini juga ditandai dengan kemunculan sineas-sineas berbakat yang karirnya dimulai dari televisi, seperti Tsui Hark, Ann Hui, John Woo, Ringo Lam serta lainnya. Tidak seperti Hark dan Woo, sineas wanita Ann Hui memproduksi film-film dengan beragam variasi genre, yakni drama, aksi, horor, fantasi, dan lainnya. Film drama The Boat People (1982) dianggap merupakan salah satu karya terbaiknya. Tsui Hark sukses dengan film-film aksi kung-fu cepat dan energik macam Zu: Warriors from the Magic Mountain (1983), Peking Opera Blues (1986) hingga karya fenomenalnyaOnce upon a Time in China (1991) yang membesarkan nama Jet Li. Sementara Woo dikenal dengan film-film gangster full action seperti A Better Tomorrow (1986) dan The Killer (1989) yang mengangkat nama aktor karismatik Chow Yun-fat. Tsui Hark dan John Woo pada pertengahan dekade mendatang melanjutkan karirnya di Hollywood.
Sang superstar, Jacky Chan setelah sukses dengan film-film kung-fu pada dekade lalu melanjutkan suksesnya dengan film-film aksi berlatar kontemporer, seperti Project A (1983), Police Story (1985) dan Armour of God (1986). Dalam semua filmnya, Chan tidak pernah menggunakan pemain pengganti untuk melakukan adegan berbahaya. Di masa mendatang Chan semakin menanjak popularitasnya bahkan kini menjadi bintang top Hollywood. Kolega Chan, Sammo Hung pada dekade ini sukses dengan film-film aksi-komedi horor, Encounter of the Spooky Kind dan The Dead and the Deadly (1982) yang mempelopori sukses genre “hantu" pada dekade ini. Beberapa bintang lain yang menonjol antara lain aktris Brigitte Lin yang sukses dengan film-film roman silat serta aktor spesialis komedi, Stephen Chow yang meraih sukses awalnya melalui film komedi “judi”, All for the Winner (1990).
Sukses sinema mainstream ternyata juga diikuti film-film nonmainstream (art film) di kancah film internasional. Para sineas seperti Wong Kar-wai, Stanley Kwan, Clara Law, Mabel Cheung menekankan pada tema serta gaya yang tidak lazim dalam film-film Hong Kong kebanyakan. Satu nama yang paling mencuat hanyalah Wong Kar-wai. Wong memulai debutnya melalui As Tears Go By (1988) adalah film garapannya yang paling sukses komersil. Karya-karya terbaiknya berlanjut melalui Days of Being Wild(1991) dan Chungking Express (1994) namun adalah Happy Togethers(1997) yang membuat namanya meroket setelah meraih penghargaan sineas terbaik dalam Cannes Film Festival. Film-film Wong sendiri dikenal memiliki gaya visual yang unik serta kolaborasinya dengan aktor-aktris, Tony Leung dan Maggie Cheung. Dua bintang ini juga terlibat dalam In the Mood for Love (2000) yang kini dianggap merupakan salah satu karya masterpiece Wong.
Era Kejatuhan hingga Kini
Sekitar pertengahan era 90-an merupakan era paling gelap dalam sejarah industri film Hong Kong. Produksi film lokal dari tahun ke tahun terus merosot tajam. Pada tahun 1997 tercatat jumlah produksi film dibawah seratus judul film, terburuk sejak dua dekade silam. Banyak faktor yang melatarbelakangi kejatuhan perfilman Hong Kong, antara lain krisis keuangan yang melanda Asia, banyak sineas serta aktor besar yang hijrah ke Hollywood, kualitas film yang semakin menurun, pembajakan film yang makin marak, dominasi film-film Hollywood, serta paling berpengaruh adalah pemindahtanganan Hong Kong ke Cina dari tangan pemerintah Inggris pada tahun 1997. Janji pemerintah Cina untuk mendukung industri film belum menunjukkan hasil, justru industri malah ditekan melalui sensor film yang ketat. Tahun 2003, Pemerintah lokal mengeluarkan kebijakan yang mengajak bank lokal untuk mendukung industri film namun hasilnya juga masih belum maksimal.
Pada era kelam ini para pelaku industri mencoba menggunakan beberapa formula baru untuk memikat penonton muda datang ke bioskop diantaranya mengkasting bintang-bintang (juga penyayi pop) muda seperti Ekin Cheng dan Nicholas Tse, serta membuat film-film aksi kaya efek visual ala Hollwood. Tren ini tampak dalam film-film seperti Downtown Torpedoes (1997), The Storm Riders (1998),Gen X-Cop (1999), Time and Tide (2000), danLegend of Zu (2001). Sang superstar, Stephen Chow sukses fenomenal dengan dua film komedi uniknya, Shaolin Soccer (2001) dan Kung Fu Hustle (2004). Kung Fu Hustle bahkan sukses meraih nominasi Oscar untuk film berbahasa asing terbaik. Film-film gangster dankriminal juga cukup sukses, seperti Young and Dangerous (1996) dan Infernal Affairs (2002) bersama sekuel-sekuelnya. Infernal Affairs bahkan di-remake Hollywood melalui The Departed (2006) yang meraih Oscar untuk Film Terbaik.
Hingga saat ini pun kondisi perfilman Hong Kong masih jauh jika dibandingkan era emas 80-an. Industri film kini hanya memproduksi sekitar 50-an judul film saja per tahunnya. Sayangnya, di saat industri film semakin merosot justru popularitas film-film Hong Kong di negara barat semakin meningkat. Sineas dan bintang-bintang Hong Kong seperti John Woo, Jacky Chan, Jet Li, serta Chow Yun-fat sudah menjadi bagian dari Hollywood. John Woo bahkan dipercaya memproduksi film-film berbujet besar macam Broken Arrow (1996), Face/Off (1998), Mission Impossible 2(2000), dan Windtalkers (2002) bersama bintang-bintang top macam Tom Cruise, Nicholas Cage, dan John Travolta. Jacky Chan meraih sukses melebihi karirnya di Hong Kong melalui tiga seri aksi-komedi, Rush Hour. Sementara penata laga kawakan, Yuen Woo-ping hingga kini masih menjadi langganan dalam banyak film aksi laga Hollywood. Pengaruh sinema Hong Kong pun juga tampak dalam karya-karya sineas besar seperti Quentin Tarantino, Robert Rodriguez, Wachowsky Bersaudara, hingga Martin Scorcese. Sebagai penutup, perkembangan industri perfilman dunia boleh jadi tidak memiliki warna seperti saat ini jika sinema Hong Kong tidak pernah eksis.
sumber
Sejak awal perkembangan sinema industri film Hong Kong berjalan berdampingan bersama industri film China yang berpusat di Shanghai. Opera Cina yang telah ada sejak ribuan tahun silam menjadi akar bagi medium film. Adapun film yang seringkali dianggap sebagai film Hong Kong pertama adalah dua film komedi pendek berjudul Stealing a Roasted Duckdan Right a Wrong with Earthenware Dish masing-masing pada tahun 1909. Film ini disutradarai Liang Shaobo yang juga seorang aktor dan sutradara Opera. Sementara orang yang berjasa di balik awal perkembangan sinema Hong Kong adalah seorang Amerika, Benjamin Brodsky. Brodsky juga turut andil memproduksi film panjang Hong Kong pertama (berdurasi 2 rol) yakni,Zhuangzi Tests His Wife (1913). Film yang diadaptasi dari pertunjukan opera ini diarahkan oleh Lai Man-wai yang kelak dijuluki sebagai Bapak Sinema Hong Kong.
Perkembangan selanjutnya sulit untuk dilacak karena hanya sedikit saja film yang selamat dari perang dunia pertama. Perang juga menghambat perkembangan film di Hong Kong karena industri film sangat bergantung pada stok (negatif) film dari Jerman. Hingga akhirnya pada tahun 1923, Lai Man-wai bersama dua saudaranya begabung bersama Liang Shaobo untuk mendirikan studio lokal pertama di Hong Kong yakni, Minxin Studio atau juga dikenal China Sun Motion Picture Company. Pada tahun 1925, Lai memproduksi film panjang pertama yakni, Rogue yang juga sukses komersil. Namun demonstrasi buruh yang melanda Hong Kong pada saat itu memaksa Lai memindahkan operasinya ke Shanghai.
Era Film Bicara - Perang Dunia II
Kedatangan teknologi suara serta demonstrasi yang mulai mereda di Hong Kong mengubah industri film sangat drastis. Rakyat Cina mayoritas menggunakan bahasa mandarin namun bahasa kanton lebih lazim digunakan warga Hong Kong. Para produser Cina melihat peluang emas ini dan mulai mendirikan studio di Hong Kong untuk memproduksi film-film berbahasa kanton. Perang antara Cina – Jepang yang pecah di tahun 1937 juga memaksa para pelaku industri film di Shanghai pindah ke Hong Kong. Hong Kong selama beberapa waktu menjadi surga bagi para pelaku industri asal Shanghai. Studio-studio besar seperti, Grandview, Tian Yi, Universal, dan Nanyue didirikan. Film-film bergenre adaptasi opera terbukti adalah yang paling sukses pada dekade ini. Hingga akhirnya pada tahun 1941, Jepang menginvasi Hong Kong dan praktis industri film mati total.
Selama era 30-an ini selain film-film adaptasi opera beberapa genre baru bermunculan yakni, perang (propaganda anti Jepang) serta silat. Ketegangan dengan Jepang membuat film-film perang bertema patriotisme dan nasionalis menjadi tema yang populer sejak pertengahan 30-an, sepertiLifeline (1935), Hand to Hand Combat (1937), dan March of the Partisans(1938). Sementara genre silat (umumnya menggunakan pedang) sebenarnya telah populer sejak akhir dekade lalu terutama di Cina melalui adaptasi novel-novel wuxia yang kala itu sangat populer disajikan berseri di surat kabar. Namun pada awal era 30-an pemerintah Cina melarang produksi film-film silat pedang karena dinilai mengandung unsur kekerasan dan tahyul. Hal ini membuat Hong Kong yang merupakan koloni Inggris menjadi sasaran alternatif. Tercatat film silat berbahasa kanton pertama yang diproduksi di Hong Kong adalah The Adamed Pavilion (1938). Setelah perang berakhir kelak silat (dan kung-fu) adalah salah satu genre paling berpengaruh dalam sejarah industri perfilman Hong-Kong.
Era Pasca Perang Dunia
Sesaat setelah perang dunia selesai, perang sipil yang terjadi di Cina kembali memaksa para pelaku industri film di Shanghai kembali eksodus ke Hong Kong. Hong Kong menjadi pusat industri film terbesar yang memproduksi baik film berbahasa mandarin maupun kanton selama dekade mendatang. Film-film berbahasa mandarin cenderung berbujet besar dengan sasaran penonton yang lebih luas, yakni Cina daratan, Hong Kong, Asia Tenggara, hingga wilayah pecinan di seluruh Eropa dan Amerika. Sementara film-film berbahasa kanton umumnya berbujet rendah dan lebih ditujukan untuk pasar Hong Kong sendiri. Film-film lokal ini banyak didominasi oleh genre adaptasi opera Cina dan kung-fu.
Film-film adaptasi opera Cina dimotori oleh dua aktris top, yakni Yam Kim Fai dan Pak Suet Yin. Film mereka yang paling populer adalah The Purple Hairpin (1959) dan mereka telah bermain dalam lima puluh judul film lebih. Sementara pekembangan mendasar terjadi pada genre silat pedang, yakni munculnya genre kung-fu. Berbeda dengan adaptasi novel wuxia yang berisikan silat menggunakan pedang serta unsur fantasi dan mistik, film-film kung-fu lebih membumi dengan aksi-aksi perkelahian tangan kosong yang realistik. Satu contohnya, pahlawan lokal legendaris, Wong Fei Hung mulai difilmkan dengan seri lebih dari seratus judul film sejak akhir 40-an hingga 70-an. Aktor Kwan Tak Hing berperan sebagai sang master kung-fu dimulai dari The True Story of Wong Fei Hung (1949) hingga Wong Fei Hung Bravely Crushing the Fire Formation (1970). Perubahan juga terjadi pada genre silat pedang yang mulai menggunakan efek visual dan animasi untuk mendukung adegan aksi, seperti tampak pada Buddha’s Palm (1964) dan The Six-Fingered Lord of the Lute (1965).
Pada tahun 1963, pemerintah kolonial (Inggris) mengeluarkan kebijakan mengharuskan setiap film yang diproduksi di Hong Kong disertai teks terjemahan bahasa Inggris. Beberapa pihak menduga hal ini dimaksudkan untuk menghindari tema serta isi film yang berbau propaganda terhadap Inggris. Para produser juga memasukkan teks terjemahan bahasa Cina sehingga baik penonton berbahasa mandarin maupun kanton dapat sama-sama pula menikmati filmnya. Kebijakan ini tidak disadari kelak akan mempopulerkan film-film Hong Kong pada penonton barat. Hingga akhir dekade 60-an, film berbahasa mandarin semakin mendominasi pasar dan pada awal 70-an, film berbahasa kanton hampir sama sekali tidak diproduksi karena kalah bersaing.
Dominasi Shaw Brothers
Pada era 60-an ada dua studio raksasa yang bersaing menguasai pasar, yakni Shaw Brothers (SB) dan Motion Pictures and General Invesment Limited (MP&GI). SB semakin memperkuat dominasinya di tahun 1964, setelah kepala studio MP&GI tewas dalam kecelakaan pesawat terbang. MP&GI lalu berganti nama menjadi Cathay namun tetap saja kalah bersaing dan akhirnya mereka menutup perusahaannya di tahun 1970. Studio SB sendiri berdiri tahun 1957 namun Shaw Bersaudara, Run Run dan Runme Shaw sebelumnya telah berpengalaman di industri film sejak tiga dekade silam. SB semakin memperlihatkan dominasinya setelah mendirikan studio di Central Bay, Hong Kong pada tahun 1961, dengan luas areal 850.000 hektar dan ribuan karyawan. Dengan segala fasilitas, sineas serta para bintangnya, SB mendominasi industri film selama dua dekade ke depan. Hingga pertengahan 70-an, SB tercatat memiliki 230 teater, satu stasiun televisi, dan sekitar 1,7 juta orang per minggunya melihat film-film produksi SB.
Sukses besar pertama SB adalah melalui The Kingdom and the Beauty(1958) karya Li Han Hsiang yang sukses komersil baik domestik maupun internasional. Sukses berlanjut melalui Magnificent Concubine (1962) yang meraih penghargaan di Cannes Film Festival. Bersama SB, Li Han Hsiang kembali sukses besar melalui film musikal Love Eterne (1963) yang hingga kini masih dianggap karya klasik. SB juga mengubah tradisi genre silat pedang yang semula didominasi bintang wanita menjadi film laga murni melalui film-film sukses macam Come Drink with Me (1966) karya King Hu serta The One Armed Swordsman (1967) karya Chang Cheh.
Era Transisi
Sejak akhir dekade lalu film berbahasa kanton mulai menyusut bahkan hingga tahun 1972 jumlahnya sama sekali nol. SB hingga pertengahan dekade ini masih mendominasi melalui film-film kung-fu yang kini mulai digemari penonton barat. Bersama Chang Ceh, SB memproduksi film-film kung-fu sukses seperti Vengeance (1970), The Boxer from Shantung(1972), Five Deadly Venoms (1978) and Crippled Avengers (1979). Sejak awal dekade ini SB mulai mendapat rival yang serius ketika mantan eksekutifnya yakni, Raymond Chow mendirikan studio, Golden Harvest (GH). Dengan kejeliannya, Chow mengontrak beberapa bintang muda yakni Bruce Lee dan Hui Bersaudara yang kelak membawa perubahan besar bagi industri film Hong Kong.
Bruce Lee bisa dibilang adalah satu-satunya aktor superstar legendaris yang menjadi ikon beladiri di muka bumi ini. Sepanjang karirnya Lee hanya memproduksi lima judul film sebelum ia tewas di tahun 1973, yakni The Big Boss (1971), Fist of Fury (1972), The Way of the Dragon (1972), Enter of the Dragon (1973), dan The Game of Death (1979). (The Game of Death adalah film yang belum ia selesaikan produksi tahun 1972). Lee melalui film-filmnya memperkenalkan aksi perkelahian gaya baru yang cepat dengan kharismanya yang khas. Tercatat tiga film pertamanya memecahkan rekor box office domestik. Sementara sukses besar diraih Enter of the Dragon merupakan film produksi patungan Amerika – Hong Kong yang tercatat meraih $90 juta di seluruh dunia.
Pada pertengahan 70-an, memperlihatkan beberapa usaha para pembuat film lokal untuk memproduksi film berbahasa kanton. Satu pemicunya adalah film komedi sukses The House of 72 Tenants (1973) produksi SB yang merupakan satu-satunya film berbahasa kanton yang diproduksi tahun ini. Produksi film berbahasa kanton kembali bergairah terutama setelah film komedi kontemporer Games Gambler’s Play (1974) produksi GH yang dibintangi Hui Bersaudara memecahkan rekor box office domestik. Sukses film ini mengubah arah industri film Hong Kong ke depan. Pada tahun 1974 tercatat hanya 21% film berbahasa kanton diproduksi dan tren ini terus berkembang hingga kelak film berbahasa mandarin sama sekali tidak diproduksi di awal 80-an.
Pada akhir dekade 70-an, GH mengambil-alih kendali pasar menjadi studio nomor satu di Hong Kong. GH kembali melakukan terobosan besar dengan mengontrak aktor muda berbakat sebagai pengganti mendiang Lee, yakni Jacky Chan. Chan melalui Snake in the Eagle Shadow (1978) yang mengkombinasikan aksi kung-fu dengan komedi (kelak menjadi cirinya) terbukti menjadi formula yang sangat diminati penonton. Film-film selanjutnya seperti Drunken Master (1978) serta debut sutradaranya, Fearless Hyena (1979) yang sukses di pasaran semakin meroketkan namanya. Sukses GH serta melemahnya dominasi SB juga membuat para produser dan studio independen semakin menggeliat. SB sendiri masih berproduksi hingga tahun 1987 sebelum akhirnya beralih penuh ke televisi.
Era Emas
Sejak era 80-an, industri film Hong Kong boleh dibilang berubah secara radikal. Para produser dan sineas independen semakin bebas berkreasi dengan ide yang lebih segar. Industri film pada dekade ini mengalami tahap kematangan serta kreatifitas yang belum pernah dicapai era-era sebelumnya. Era gemilang ini berlanjut hingga awal dekade depan ditandai dengan rekor produksi sebanyak 178 judul film pada tahun 1992. Langkah besar dipicu oleh studio baru, Cinema City yang didirikan tahun 1980. Studio ini mengkhususkan diri pada produksi film aksi komedi ber-setting urban dengan film-film sukses macam Chasing Girls (1981) dan Aces Go Places (1982). Parodi ala James Bond, Aces Go Places bersama empat sekuelnya tercatat merupakan seri komedi paling sukses pada dekade ini.
Era ini juga ditandai dengan kemunculan sineas-sineas berbakat yang karirnya dimulai dari televisi, seperti Tsui Hark, Ann Hui, John Woo, Ringo Lam serta lainnya. Tidak seperti Hark dan Woo, sineas wanita Ann Hui memproduksi film-film dengan beragam variasi genre, yakni drama, aksi, horor, fantasi, dan lainnya. Film drama The Boat People (1982) dianggap merupakan salah satu karya terbaiknya. Tsui Hark sukses dengan film-film aksi kung-fu cepat dan energik macam Zu: Warriors from the Magic Mountain (1983), Peking Opera Blues (1986) hingga karya fenomenalnyaOnce upon a Time in China (1991) yang membesarkan nama Jet Li. Sementara Woo dikenal dengan film-film gangster full action seperti A Better Tomorrow (1986) dan The Killer (1989) yang mengangkat nama aktor karismatik Chow Yun-fat. Tsui Hark dan John Woo pada pertengahan dekade mendatang melanjutkan karirnya di Hollywood.
Sang superstar, Jacky Chan setelah sukses dengan film-film kung-fu pada dekade lalu melanjutkan suksesnya dengan film-film aksi berlatar kontemporer, seperti Project A (1983), Police Story (1985) dan Armour of God (1986). Dalam semua filmnya, Chan tidak pernah menggunakan pemain pengganti untuk melakukan adegan berbahaya. Di masa mendatang Chan semakin menanjak popularitasnya bahkan kini menjadi bintang top Hollywood. Kolega Chan, Sammo Hung pada dekade ini sukses dengan film-film aksi-komedi horor, Encounter of the Spooky Kind dan The Dead and the Deadly (1982) yang mempelopori sukses genre “hantu" pada dekade ini. Beberapa bintang lain yang menonjol antara lain aktris Brigitte Lin yang sukses dengan film-film roman silat serta aktor spesialis komedi, Stephen Chow yang meraih sukses awalnya melalui film komedi “judi”, All for the Winner (1990).
Sukses sinema mainstream ternyata juga diikuti film-film nonmainstream (art film) di kancah film internasional. Para sineas seperti Wong Kar-wai, Stanley Kwan, Clara Law, Mabel Cheung menekankan pada tema serta gaya yang tidak lazim dalam film-film Hong Kong kebanyakan. Satu nama yang paling mencuat hanyalah Wong Kar-wai. Wong memulai debutnya melalui As Tears Go By (1988) adalah film garapannya yang paling sukses komersil. Karya-karya terbaiknya berlanjut melalui Days of Being Wild(1991) dan Chungking Express (1994) namun adalah Happy Togethers(1997) yang membuat namanya meroket setelah meraih penghargaan sineas terbaik dalam Cannes Film Festival. Film-film Wong sendiri dikenal memiliki gaya visual yang unik serta kolaborasinya dengan aktor-aktris, Tony Leung dan Maggie Cheung. Dua bintang ini juga terlibat dalam In the Mood for Love (2000) yang kini dianggap merupakan salah satu karya masterpiece Wong.
Era Kejatuhan hingga Kini
Sekitar pertengahan era 90-an merupakan era paling gelap dalam sejarah industri film Hong Kong. Produksi film lokal dari tahun ke tahun terus merosot tajam. Pada tahun 1997 tercatat jumlah produksi film dibawah seratus judul film, terburuk sejak dua dekade silam. Banyak faktor yang melatarbelakangi kejatuhan perfilman Hong Kong, antara lain krisis keuangan yang melanda Asia, banyak sineas serta aktor besar yang hijrah ke Hollywood, kualitas film yang semakin menurun, pembajakan film yang makin marak, dominasi film-film Hollywood, serta paling berpengaruh adalah pemindahtanganan Hong Kong ke Cina dari tangan pemerintah Inggris pada tahun 1997. Janji pemerintah Cina untuk mendukung industri film belum menunjukkan hasil, justru industri malah ditekan melalui sensor film yang ketat. Tahun 2003, Pemerintah lokal mengeluarkan kebijakan yang mengajak bank lokal untuk mendukung industri film namun hasilnya juga masih belum maksimal.
Pada era kelam ini para pelaku industri mencoba menggunakan beberapa formula baru untuk memikat penonton muda datang ke bioskop diantaranya mengkasting bintang-bintang (juga penyayi pop) muda seperti Ekin Cheng dan Nicholas Tse, serta membuat film-film aksi kaya efek visual ala Hollwood. Tren ini tampak dalam film-film seperti Downtown Torpedoes (1997), The Storm Riders (1998),Gen X-Cop (1999), Time and Tide (2000), danLegend of Zu (2001). Sang superstar, Stephen Chow sukses fenomenal dengan dua film komedi uniknya, Shaolin Soccer (2001) dan Kung Fu Hustle (2004). Kung Fu Hustle bahkan sukses meraih nominasi Oscar untuk film berbahasa asing terbaik. Film-film gangster dankriminal juga cukup sukses, seperti Young and Dangerous (1996) dan Infernal Affairs (2002) bersama sekuel-sekuelnya. Infernal Affairs bahkan di-remake Hollywood melalui The Departed (2006) yang meraih Oscar untuk Film Terbaik.
Hingga saat ini pun kondisi perfilman Hong Kong masih jauh jika dibandingkan era emas 80-an. Industri film kini hanya memproduksi sekitar 50-an judul film saja per tahunnya. Sayangnya, di saat industri film semakin merosot justru popularitas film-film Hong Kong di negara barat semakin meningkat. Sineas dan bintang-bintang Hong Kong seperti John Woo, Jacky Chan, Jet Li, serta Chow Yun-fat sudah menjadi bagian dari Hollywood. John Woo bahkan dipercaya memproduksi film-film berbujet besar macam Broken Arrow (1996), Face/Off (1998), Mission Impossible 2(2000), dan Windtalkers (2002) bersama bintang-bintang top macam Tom Cruise, Nicholas Cage, dan John Travolta. Jacky Chan meraih sukses melebihi karirnya di Hong Kong melalui tiga seri aksi-komedi, Rush Hour. Sementara penata laga kawakan, Yuen Woo-ping hingga kini masih menjadi langganan dalam banyak film aksi laga Hollywood. Pengaruh sinema Hong Kong pun juga tampak dalam karya-karya sineas besar seperti Quentin Tarantino, Robert Rodriguez, Wachowsky Bersaudara, hingga Martin Scorcese. Sebagai penutup, perkembangan industri perfilman dunia boleh jadi tidak memiliki warna seperti saat ini jika sinema Hong Kong tidak pernah eksis.
sumber
{ 0 komentar... read them below or add one }
Post a Comment